Untuk dapat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, umat Islam Indonesia
bersedia menjadi pekerja perkebunan di Singapura atau Penang sebelum ataupun
sesudah berhaji.
Tak seperti masa sekarang yang menggunakan moda transportasi pesawat
terbang; pada periode permulaan haji, perjalanan ke Haramain (Dua Tanah Suci)
pada umumnya ditempuh melalui jalur laut dengan menggunakan kapal niaga, baik
milik domestik maupun milik asing. Pada periode ini, terang Dr M Dien Majid
dalam buku Berhaji di Masa Kolonial, di wilayah nusantara tidak tersedia kapal
khusus untuk mengangkut jamaah haji.
Karena tidak diperuntukkan sebagai moda angkutan jamaah haji, awak
kapal-kapal dagang tidak menyediakan kelengkapan khusus untuk penumpang. Maka
itu, para jamaah haji pada masa itu harus membawa makanan sendiri, seperti
beras, lauk-pauk, dan yang lainnya.
Selain tidak menyediakan konsumsi bagi para penumpang, kapal dagang ini juga
tidak memiliki fasilitas kamar. Para penumpang pun saling berdesak-desakan,
baik antarsesama maupun barang.
Kondisi yang dialami para jamaah haji nusantara ini pernah disampaikan oleh
orientalis berkebangsaan Belanda, Dr Christian Snouck Hurgronje, dalam suratnya
yang ditujukan kepada direktur pendidikan, agama, dan kerajinan Pemerintah
Hindia Belanda.
Akan tetapi, sejak permulaan abad ke-16, kapal niaga nusantara mulai
mengambil alih dan menggantikan kapal niaga asing. Kapal-kapal itu melayari
jalur perdagangan Samudra India sampai ke Jazirah Arab. Meskipun pada masa ini
beberapa kapal niaga telah berkurang, menurut Dr M Shaleh Putuhena dalam
bukunya yang berjudul Historiografi Haji Indonesia, masih dijumpai kapal niaga
milik orang-orang Arab, Persia, Turki, dan India yang beroperasi di nusantara.
Pada abad ke-16, nusantara telah memiliki armada perdagangan internasional,
mengingat ketika itu Jawa, terutama Jepara, telah memiliki industri kapal untuk
keperluan niaga. Sebagian kapal buatan Jepara itu memang termasuk jenis kapal
kecil dengan daya jelajah yang terbatas, hanya sampai India dan Filipina dan
dengan daya muat 32 ton.
Akan tetapi, tulis MAP Meilink-Roelofsz dalam bukunya Asian Trade and
European Influence in the Indonesian Archipelago Between 1500 and 1630, pada
abad ke-16, Pigafetta pernah menemukan kapal besar buatan Jawa dengan tonase
yang sama dengan kapal niaga Spanyol masa itu yang bisa sampai 400 ton.
Roelofsz dalam bukunya yang bertajuk Islam: The Trade of Asia mengungkapkan,
armada niaga Pasai dan Pidie yang berlayar sampai ke Jeddah ternyata juga
dibeli dari Jawa dan Pegu. Selain itu, Sultan Masyur Syah dari Malaka ketika
akan melaksanakan ibadah haji juga memesan kapal khusus dari Jepara dan Pegu.(republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar