Haji sangat kaya dengan peristiwa simbolik. Siapapun yang
ingin merasakan nikmatnya haji dan umrah sebaiknya memahami simbol-simbol yang
ada di dalamnya. Haji sebagai lambang drama kosmik, yang menceritakan
jatuhnya nenek moyang kita Adam dari syurga kenikmatan ke bumi penderitaan melibatkan
pemeran utama yaitu malaikat, iblis, Adam, Hawa, Ibrahim, Ismail, Hajar, Nabi
Muhammad Saw.
Selama ini kita secara lugu memahami drama ini sebagai peristiwa faktual sebagaimana ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir sunny mu’tabarah. Di sana ada Iblis sebagai aktor paling berpengaruh menyebabkan peristiwa kejatuhan itu terjadi. Paling jauh kita difahamkan bahwa drama kosmik ini pelajaran penting bagi anak cucu Adam agar jangan jatuh di lubang yang sama. Jika ingin kembali ke syurga yang pernah dicicipi nenek moyang kita, maka kita harus mengikuti ajaran Islam yang berisi tuntunan, perintah, dan larangan. Al-Qur’an turun ke bumi untuk mengembalikan manusia ke kampung halamnnya di syurga. Tidak ada artinya kita membumikan Al-Qur'an jika tidak mampu melangitkan manusia..
Selama ini kita secara lugu memahami drama ini sebagai peristiwa faktual sebagaimana ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir sunny mu’tabarah. Di sana ada Iblis sebagai aktor paling berpengaruh menyebabkan peristiwa kejatuhan itu terjadi. Paling jauh kita difahamkan bahwa drama kosmik ini pelajaran penting bagi anak cucu Adam agar jangan jatuh di lubang yang sama. Jika ingin kembali ke syurga yang pernah dicicipi nenek moyang kita, maka kita harus mengikuti ajaran Islam yang berisi tuntunan, perintah, dan larangan. Al-Qur’an turun ke bumi untuk mengembalikan manusia ke kampung halamnnya di syurga. Tidak ada artinya kita membumikan Al-Qur'an jika tidak mampu melangitkan manusia..
Abd Razzaq al-Kasyani, dalam kitab al- Ta'wilat-nya
berpendapat bahwa drama kosmik itu lebih bermakna metaforis. Para aktor dan
pemeran utama yang terlibat di dalam drama tersebut bukan figur personal tetapi
lebih bermakna simbolis-metaforis. Kasani tidak menafikan makna eksoterik
namun ia sendiri lebih menekankan makna esoterik ayat-ayat drama kosmik, tetapi
tersebut. Kasyani mengonotasikan Adam dengan hati (qalb), Hawa dikonotasikan
dengan jiwa (nafs), dan Iblis dikonotasikan dengan intuisi indrawi (wahm).
Adam dikonotasikan dengan hati atau kalbu karena ia telah diajarkan nama-nama
semuanya (wa 'allam Adam al-asma’ kullaha). Dengan demikian Adam menjadi
maklum akan ciri dan identitats benda-benda serta manfaat, risiko, dan bahayanya.
Hawa dikonotasikan jiwa atau nafsu, sehingga sering menjadi kata majmuk
hawa-nafsu.
Hawa sendiri secara harfiah berasal dari kata hawa berarti "kecenderungan merah pada warna hitam", karena itu nafs tidak terpisahkan dengan badan yang gelap dan hawa adalah warna yang didominasi oleh warna hitam. Bandingkan dengan Adam yang secara harfiah berati "terbubuhi warna hitam". Kata adam seakar kata dengan udma berarti coklat atau warna yang cenderung pada warna hitam. Iblis dikonotasikan dengan wahm atau intuisi indrawi, yang memberikan kesadaran cepat namun sering mengecoh dan mengelirukan.
Intuisi indrawi ini memperingatkan kita tentang kenyataan bahwa sifat-sifat kebencian, kebenaran, ketamakan, dan kebaikan mungkin ada dalam diri seorang manusia atau seekor hewan, seperti srigala harus dihindari dan anak harus disayangi. Intuisi indrawi menurut Kasyani, sebagaimana yang disederhanakan oleh Murata dengan mengatakan indra perantara yang ditempatkan di suatu tempat antara akal dan persepsi indra. Dengan demikian, kesadaran yang disuguhkan oleh Iblis adalah kesadaran dangkal, semu, dan tidak bersifat universal.
Intuisi indrawi yang tidak dituntun oleh akal berpotensi menjerumuskan manusia ke dunia kesengsaraan. Peran akal untuk membimbing intuisi indrawi penting sekali jika seseorang menghendaki keselamatan. Namun akal pun juga memerlukan tuntunan yang bersumber dari Yang Maha Pemberi Petunjuk (al-Hadi). Siklus ibadah haji sesungguhnya merupakan sebuah exercise untuk menjadi manusia paripurna (insan kamil). Wajar kalau Nabi melukiskannya dengan predikat: Bagaikan ia baru lahir dari rahim ibunya (ka yaum waladathu ummuh), yang suci dari dosa. Selamat meraih haji mabrur. Allahu A’lam. (rmol.co/Nasaruddin Umar foto: wartaislami.com)
Hawa sendiri secara harfiah berasal dari kata hawa berarti "kecenderungan merah pada warna hitam", karena itu nafs tidak terpisahkan dengan badan yang gelap dan hawa adalah warna yang didominasi oleh warna hitam. Bandingkan dengan Adam yang secara harfiah berati "terbubuhi warna hitam". Kata adam seakar kata dengan udma berarti coklat atau warna yang cenderung pada warna hitam. Iblis dikonotasikan dengan wahm atau intuisi indrawi, yang memberikan kesadaran cepat namun sering mengecoh dan mengelirukan.
Intuisi indrawi ini memperingatkan kita tentang kenyataan bahwa sifat-sifat kebencian, kebenaran, ketamakan, dan kebaikan mungkin ada dalam diri seorang manusia atau seekor hewan, seperti srigala harus dihindari dan anak harus disayangi. Intuisi indrawi menurut Kasyani, sebagaimana yang disederhanakan oleh Murata dengan mengatakan indra perantara yang ditempatkan di suatu tempat antara akal dan persepsi indra. Dengan demikian, kesadaran yang disuguhkan oleh Iblis adalah kesadaran dangkal, semu, dan tidak bersifat universal.
Intuisi indrawi yang tidak dituntun oleh akal berpotensi menjerumuskan manusia ke dunia kesengsaraan. Peran akal untuk membimbing intuisi indrawi penting sekali jika seseorang menghendaki keselamatan. Namun akal pun juga memerlukan tuntunan yang bersumber dari Yang Maha Pemberi Petunjuk (al-Hadi). Siklus ibadah haji sesungguhnya merupakan sebuah exercise untuk menjadi manusia paripurna (insan kamil). Wajar kalau Nabi melukiskannya dengan predikat: Bagaikan ia baru lahir dari rahim ibunya (ka yaum waladathu ummuh), yang suci dari dosa. Selamat meraih haji mabrur. Allahu A’lam. (rmol.co/Nasaruddin Umar foto: wartaislami.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar