Sabtu, 20 Agustus 2016

Memahami Simbol-simbol Haji



Haji sangat kaya dengan peristiwa simbolik. Siapapun yang ingin merasakan nikmatnya haji dan umrah sebaiknya memahami sim­bol-simbol yang ada di da­lamnya. Haji sebagai lam­bang drama kosmik, yang menceritakan jatuhnya nenek moyang kita Adam dari syurga kenikmatan ke bumi penderitaan me­libatkan pemeran utama yaitu malaikat, iblis, Adam, Hawa, Ibrahim, Ismail, Hajar, Nabi Mu­hammad Saw. 

Selama ini kita secara lugu me­mahami drama ini sebagai peristiwa faktual sebagaimana ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir sunny mu’tabarah. Di sana ada Iblis se­bagai aktor paling berpengaruh menyebabkan peristiwa kejatuhan itu terjadi. Paling jauh kita difahamkan bahwa drama kosmik ini pelaja­ran penting bagi anak cucu Adam agar jangan jatuh di lubang yang sama. Jika ingin kembali ke syurga yang pernah dicicipi nenek moyang kita, maka kita harus mengikuti ajaran Islam yang berisi tuntunan, perintah, dan larangan. Al-Qur’an turun ke bumi untuk mengembalikan manusia ke kampung halamnnya di syurga. Tidak ada artinya kita membumikan Al-Qur'an jika tidak mampu melangitkan manusia..


Abd Razzaq al-Kasyani, dalam kitab al- Ta'wilat-nya berpendapat bahwa drama kosmik itu lebih bermakna metaforis. Para aktor dan pemeran utama yang terlibat di dalam drama tersebut bukan figur personal tetapi lebih ber­makna simbolis-metaforis. Kasani tidak me­nafikan makna eksoterik namun ia sendiri lebih menekankan makna esoterik ayat-ayat drama kosmik, tetapi tersebut. Kasyani mengonota­sikan Adam dengan hati (qalb), Hawa dikono­tasikan dengan jiwa (nafs), dan Iblis dikono­tasikan dengan intuisi indrawi (wahm). Adam dikonotasikan dengan hati atau kalbu karena ia telah diajarkan nama-nama semuanya (wa 'al­lam Adam al-asma’ kullaha). Dengan demikian Adam menjadi maklum akan ciri dan identitats benda-benda serta manfaat, risiko, dan ba­hayanya. Hawa dikonotasikan jiwa atau nafsu, sehingga sering menjadi kata majmuk hawa-nafsu.

Hawa sendiri secara harfiah berasal dari kata hawa berarti "kecenderungan merah pada war­na hitam", karena itu nafs tidak terpisahkan den­gan badan yang gelap dan hawa adalah warna yang didominasi oleh warna hitam. Bandingkan dengan Adam yang secara harfiah berati "ter­bubuhi warna hitam". Kata adam seakar kata dengan udma berarti coklat atau warna yang cenderung pada warna hitam. Iblis dikonota­sikan dengan wahm atau intuisi indrawi, yang memberikan kesadaran cepat namun sering mengecoh dan mengelirukan. 

Intuisi indrawi ini memperingatkan kita tentang kenyataan bahwa sifat-sifat kebencian, kebenaran, ketamakan, dan kebaikan mungkin ada dalam diri seorang manusia atau seekor hewan, seperti srigala harus dihindari dan anak harus disayangi. Intui­si indrawi menurut Kasyani, sebagaimana yang disederhanakan oleh Murata dengan mengata­kan indra perantara yang ditempatkan di suatu tempat antara akal dan persepsi indra. Dengan demikian, kesadaran yang disuguhkan oleh Ib­lis adalah kesadaran dangkal, semu, dan tidak bersifat universal.
 

Intuisi indrawi yang tidak dituntun oleh akal berpotensi menjerumuskan manusia ke dunia kesengsaraan. Peran akal untuk membimb­ing intuisi indrawi penting sekali jika seseorang menghendaki keselamatan. Namun akal pun juga memerlukan tuntunan yang bersumber dari Yang Maha Pemberi Petunjuk (al-Hadi). Siklus ibadah haji sesungguhnya merupakan sebuah exercise untuk menjadi manusia paripurna (in­san kamil). Wajar kalau Nabi melukiskannya dengan predikat: Bagaikan ia baru lahir dari ra­him ibunya (ka yaum waladathu ummuh), yang suci dari dosa. Selamat meraih haji mabrur. Al­lahu A’lam. (rmol.co/Nasaruddin Umar  foto: wartaislami.com)


Tidak ada komentar: