Jumat, 29 Juli 2016

Perjuangan Panjang Nenek Murip demi Naik Haji, Memulung dan Jadi Tukang Pijat di Negeri Jiran

Add to Google Reader or Homepage

Sudah lama cita-cita Murip mengenakan pakaian ihram, menjadi tamu Allah untuk menunaikan ibadah haji. 

Meski hidupnya miskin, nenek berusia 61 tahun itu pantang mengendurkan niatnya yang sudah ia pupuk sejak lama. 

”Aku kepingin haji, nek mati dosaku cik disepuro karo gusti Allah (aku mau naik haji, kelak mati dosaku Allah maafkan),” Murip menceritakan keinginannya saat ditemui wartawan Surya, Hanif Manshuri, di rumahnya, Kamis (28/7/2106). 

Seperti kebanyakan tetangga desanya di Bulubrangsi, Solokuro, mulai berkecukupan sekian tahun usai memburu ringgit ke Malaysia. 

Begitulah Marip melanglang ke negeri jiran, mencari pengharapan sebagai modal untuk menunaikan rukun Islam kelima. 

Bersama para lelaki asal desanya, sekira 2005 ia berangkat ke Malaysia. Nasib mereka sama: warga miskin. Urusan paspor Murip percayakan kepada tetangganya yang sama–sama mengadu untung ke Malaysia. 

Tanpa modal pendidikan dan kemampuan, mau apa Murip di Malaysia apalagi usia sudah menua? Sederhana saja, memulung dan menjadi tukang pijat selama di kampung halamannya di Lamongan, begitulah yang Murip andalkan di Malaysia. 

Berbilang hari, bulan dan tahun, Murip selalu berusaha sesuai kebiasaannya secara tekun. 

Idamannya melihat Kakbah menjadi penguat Murip mencari botol bekas dan barang apapun yang bisa didaur ulang dan dijual, asalkan halal. 

Di atas semua ikhtiar itu, tak pernah Murip menanggalkan salat sunah, apalagi yang wajib. Ia tak peduli orang memandangnya hina. Selagi badan dan tenaganya masih bisa untuk berkerja, apapun ia lakukan siang malam. 

“Aku di Malaysia ya tetap jadi pemulung. Aku tidak bisa kerja apa selain itu. Aku juga menjadi tukang pijat kepada siapa pun yang memintanya bantuan,” cerita Murip. 

Praktis ketika buruh migran asal Indonesia, apalagi tak berdokumen, selalu dipandang miris oleh Polis Diraja Malaysia, tak demikian Murip. Keluguan dan kejujuran Murip membuatnya selalu mendapat perlakuan baik. 

“Katanya pak kiai, uang untuk berangkat haji itu harus benar–benar halal. Jadi saya juga tidak mau sampai meminta–minta,” kata Murip. 

Semua yang diperbuatnya Murip percaya berkat sikap jujur dan juga selalu ingat kepada Allah dan menjalankan semua perintahnya. 

Di setiap salat, dan di sepertiga malam, selalu Murip mendaraskan doa agar bisa menunaikan haji sebelum berkalang tanah. 

Saban menyetorkan barang rongsokan ke pengepul, Murip rutin membawa satu tundun pisang matang dan air mineral kemasan gelas satu dus untuk ke masjid. Kedatangannya selalu menjadi kabar gembira bagi anak-anak yang tergiur pisang bawaannya. 

"Alhamdulillah setelah itu selalu banyak barang (mulung, red) yang saya dapatkan,” Murip mengenang. Sedikit demi sedikit uang yang terkumpul ia kirimkan ke Ghozali, tetangganya di Lamongan yang membantunya untuk mendaftarkan sebagai jemaah calon haji. Saat itu masih ada dana talangan haji. Ia juga masih menyisihkan kiriman uang anak dan cucunya di rumah. 

Suami sudah meninggalkan keempat anak-anak Murip sejak kecil. Selama itulah ia harus menjadi tulang punggung terdepan keluarga seorang diri. Ia terbantu oleh program dana talangan haji. Uang yang sudah terkumpul Rp 20 juta, Ghozali langsung daftarkan atas nama Murip ke BNI pada 18 Januari 2010. 

Begitu uang yang dititipkan Ghozali sudah terkumpul, Murip langsung pulang dari Malaysia kebetulan paspornya yang berusia lima tahun sudah habis. Ia mendapat nomor porsi 1300399082 usai terdaftar sebagai peserta haji. 

Kembali ke kampungnya di Lamongan ia tetap mencari tambahan agar bisa ke Tanah Suci, dengan memulung dan memijit. 

Tak sia-sia ikhtiar dan doanya selama ini. Saat ada pemberitahuan pelunasan dana haji 2016, Murip mampu membayar tambahan Rp 15, 5 juta. Seluruh biaya itu ia usahakan sendiri lewat tenaga dan keringatnya, tanpa perlu berharap pada pemberian orang, apalagi meminta-minta. 

Murip sudah terdaftar untuk menunaikan ibadah haji, tapi tak punya rumah. 

Kepala Desa Bulubrangsi yang peduli lalu memberikan bantuan bedah rumah, akhirnya Murip menempati tanah GG desa. Listrik rumah pun menumpang dari tetangga. 

“Alhamdulillah pak kadesnya baik, rumah saya ini juga dibantu pak kades lewat program bedah rumah. Tanahnya juga milik negara,” tanpa ragu Murip bersyukur atas kebaikan pak kades. Ia serumah dengan cucunya, Nadia. 

Perihal Murip segera berangkat haji begitu cepat tersiar. Semua warga Bulubrangsi jadi tahu, tahapan manasik pun sudah Murip laksankaan di salah satu kelompok bimbingan ibadah haji di Lamongan. 

Menjelang waktu keberangkatan, Murip masih mengisi hari-harinya memulung dan menjadi tukang pijat. Uang hasil menjual barang rongsokan semisal botol plastik bekas, kardus, kertas dan potongan besi ia pakai untuk kebutuhan sehari–hari dan uang saku cucunya yang duduk di bangku kelas lima madrasah itu. 

“Saya tidak malu, yang penting tidak mencuri. Saya percaya kok, kalau saya baik dengan orang, rezeki pasti akan gampang didapatkan,” begitu prinsip hidup Murip yang ia pegang teguh. 

Hati Murip sekarang sudah plong, harta wadag memang tak banyak. Keinginannya melihat Kakbah sambil mengucap Labbaik Allah Humma Labbaik, Labbaik Laa Syarika laka Labbaik segera terwujud.(tribunnews.com)

Tidak ada komentar: