Kapal khusus pengangkut jamaah haji
pada periode permulaan haji, tulis Dien, hanya tersedia di pelabuhan Singapura
dan Penang. Karena itu, banyak calon jamaah haji pada masa itu lebih senang ke
Singapura atau Penang sebagai tempat embarkasi meski biaya perjalanan yang
harus dikeluarkan jauh lebih besar dengan waktu yang lama.
Masalah dana yang minim tidak
menjadi alasan bagi mereka untuk membatalkan niatnya. Jika perlu, mereka akan
berutang. Yang menarik, tulis Dien, ada yang bersedia menjadi pekerja
perkebunan di Singapura atau Penang selama beberapa tahun, baik sebelum maupun
sesudah pulang melaksanakan ibadah haji.
Selama menjadi buruh di perkebunan
itu, mereka bekerja keras mengumpulkan uang untuk biaya melanjutkan perjalanan
ke Makkah atau kembali ke kampung halaman. Itulah sebabnya mengapa perjalanan
haji pada masa itu memakan waktu lama, tiga hingga empat tahun. Sedangkan,
pelayaran yang normal antara pelabuhan Jeddah dan nusantara dapat ditempuh
berkisar lima sampai enam bulan. Hal ini pun sangat tergantung pada faktor
alam.
Namun, semua kondisi tersebut, tulis
Dien, tidak menjadi penghalang mereka untuk menunaikan ibadah haji. Apalagi
setelah terusan Suez dibuka pada 1869 dan ditemukannya teknologi pembuatan
kapal uap membuat perjalanan atau jarak tempuh menuju Tanah Suci menjadi lebih
cepat. Akibatnya, dapat mengurangi biaya perjalanan pulang-pergi.
Pada tahun 1825, masyarakat
Indonesia yang bermaksud melaksanakan ibadah haji untuk pertama kalinya
menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji yang disiapkan oleh Syekh Umar
Bugis. Sejak saat itu, pengangkutan jamaah haji nusantara dilaksanakan dengan
menggunakan kapal haji milik seorang syekh.
Setelah mengetahui jumlah jamaah
haji nusantara semakin meningkat pada paruh kedua abad ke-19, Inggris mulai
memasuki bisnis pengangkutan haji nusantara. Pada pertengahan tahun 1858,
sebuah kapal Inggris muncul di Batavia untuk mengangkut jamaah haji nusantara.
Jika selama ini jamaah haji nusantara menggunakan kapal layar (zeilschip),
mulai tahun itu mereka menggunakan kapal uap (stoomschip).
Dalam perkembangan berikutnya, orang
Arab di Batavia ikut juga memanfaatkan peluang bisnis pengangkutan jamaah haji
nusantara ini. Kapal mereka mengangkut penumpang dari Batavia via Padang
langsung ke Jeddah dengan kapasitas 400 jamaah. Pengangkutan ini dilakukan dua
kali setahun dengan harga tiket dari Batavia 60 dolar, sedangkan dari Padang 50
dolar atau 105 Gulden lebih murah dibandingkan kapal layar.
Langkah orang-orang Arab di Batavia
ini kemudian diikuti oleh Pemerintah Belanda setelah pembukaan Konsulat Belanda
di Jeddah pada 1872 dan peresmian penggunaan terusan Suez dua tahun sebelumnya.
Pada 1873, Pemerintah Belanda memberikan kontrak kepada tiga perusahaan
pelayaran, yaitu Nederland, Rotterdamsche Llyod, dan Ocean yang di nusantara
dikenal dengan sebutan Kongsi Tiga, untuk mengangkut jamaah haji nusantara.(republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar