Jumat, 25 September 2015

Orang-Orang Besar Itu Menabrak Seperti Kereta

Add to Google Reader or Homepage
Sri Haryati (57 tahun) menangis saat berhasil berkomunikasi dengan anaknya di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (25/9) menjelang Shubuh. Saat itu, Sri baru saja tiba di Kantor Urusan Haji Indonesia di daerah Syisyah, Makkah. 

“Ya Allah, Nak. Apa ini ujian banyak sekali. Mamakmu hampir terinjak-injak orang. Bapakmu, Nak…,” ucap Sri kepada orang di ujung telepon. 

Sri terisak dan kemudian mengabarkan dia dan suami, Muhammad Djuhdi Ibrahim (59), sudah bertemu dengan petugas haji Indonesia. Sri dan Djuhdi ditemukan Republika di lokasi pelemparan jumrah aqabah sedang duduk kelelahan. 

Republika dan tiga anggota Media Center Haji (MCH) yang baru saja meninjau lokasi insiden Mina, segera menyewa dua buah kursi roda untuk membawa Sri dan Djuhdi yang sudah tak mampu lagi berjalan. “Terima kasih, Nak. Terima kasih, Nak,” begitu ucap Sri dan Djuhdi dalam kalimat yang sama. 

Sri dan Djuhdi adalah salah satu korban luka insiden Mina yang terjadi di Jalan Arab 204, 1,6 kilometer dari lokasi pelemparan jumrah. 

Ribuan jamaah yang berdesak-desakan di jalan selebar delapan meter tersebut membuahkan tragedi memilukan. Ratusan jamaah haji dari berbagai negara wafat. Lebih dari seribu jamaah haji lainnya diperkirakan terluka. 

Dalam insiden yang terjadi pada Kamis (24/9) pagi tersebut, Sri dan Djuhdi berangkat ke lokasi jumrah dari Maktab 1, tenda yang disediakan untuk jamaah haji dari kloter BTH 14 (Batam). 

Awalnya, Sri dan Djuhdi berangkat bersama rombongan jamaah haji asal Pontianak, Kalimantan Barat, dan jamaah lain dari kloter yang sama. Dari maktab, rombongan menelusuri Jalan Raya King Fahd dari arah RS Mina Al-Wadi. 

Sampai di perempatan pertemuan antara Jalan Raya King Fahd dengan jalan di bawah Jalan Raya King Abdullah (Jalan 25/Road 25), rombongan berbelok kiri. Padahal, jalur jamaah haji Indonesia ke lokasi jamarat seharusnya tetap lurus ke depan ke arah Jembatan King Khalid. 

Sri dan Djuhdi hanya mengikuti arus yang dikomandoi sang ketua rombongan. Mengetahui ustaz ketua rombongan sudah 13 kali naik haji, jamaah pun tak ada yang protes. “Kita tidak tahu jalan, ustaz itulah yang lebih hafal. Semua ikut saja,” kata Djuhdi. 

Djuhdi melanjutkan, semula rombongan akan melontar jumrah pada sore hari. Namun jadwal berubah karena ketua rombongan mengajak jamaah melontar pagi hari itu juga atau beberapa jam setelah jamaah baru tiba di Mina dari Muzdalifah. 

Menelusuri Jalan 25, rombongan berbelok ke kanan di Jalan Arab 204. Jalan yang mirip gang besar ini dihimpit oleh maktab-maktab jamaah haji dari India, Mesir, Palestina, dan sejumlah negara Afrika. 

Setelah melewati kantor pemadam kebakaran di pertigaan Jalan Arab 204 dan Jalan 217, Djuhdi kelelahan. Dia pun tertinggal dan hanya ditemani sang istri. Djuhdi dan Sri tertinggal rombongan. 

Dia sempat melihat ada rombongan jamaah haji Indonesia dari daerah lain melintas di hadapannya. “Sekitar 5 sampai 6 orag berkelompok jalan menuju jamarat. Ada beberapa rombongan,” kata Sri. 

Setelah beristirahat, pasutri warga Jalan H Rais A Rahman, Kelurahan Sungai Kawi, Kota Pontianak itu melanjutkan perjalanan. Tak lama, keduanya melihat ribuan jamaah bertubuh hitam besar merangsek dari arah berlawanan. 

Arus jamaah dengan postur tubuh yang sama juga deras mengalir dari Jalan 223. Padahal, arus jamaah dari arah mereka datang juga tak kalah padatnya. Ribuan jamaah pun bertabrakan di pertigaan Jalan 204 dan 223 dengan kondisi saling memaksa mencari jalan. 

“Orang-orang hitam besar itu menabrak seperti kereta. Semua berteriak, panik, berjatuhan dan kemudian saling menginjak,” kata Sri. Sri menangis dan berteriak sambil memegangi Djuhdi. Mereka berdua memilih menepi di pinggir jalan. Di hadapannya ratusan jamaah terinjak-injak. 

“Ada ibu jamaah kita sedang membawa suaminya dengan kursi roda terpental dan terinjak-injak. Suaminya itu kakinya langsung patah dan meninggal. Mereka dari rombongan Jawa,” ujar Sri. 

Setelah aksi saling injak dan histeria mulai mereda, Sri dan Djuhdi melihat ratusan jamaah terkapar tak berdaya. Bahkan, di antara mereka yang tak bergerak di jalan ada juga petugas keamaan berseragam. “Petugas itu sepertinya pingsan. Banyak petugas yang juga pingsan. Banyak yang sudah meninggal di dekat kami,” kata Djuhdi. 

Beruntung, tiga orang tenaga kerja Indonesia yang berasal dari Jawa segera menolong Djuhdi dan Sri. Djuhdi digotong dengan tandu dan dibawa ke tempat tinggal para TKI di sekitar lokasi insiden. 

Mereka pun berada di sana sampai sore hari dengan sekitar 20 korban lainnya. Setelah itu, seorang warga Arab kaya menjemput mereka dan dibawa ke rumah yang lebih layak. Keduanya dijamu dan diberi makan layaknya tamu istimewa. “Mereka baik sekali. Semua makanan tersedia sampai saya lupa punya penyakit batuk dan minum jus-jus yang enak itu,” ujar Djuhdi. 

Sekitar satu jam kemudian, Djuhdi dan Sri dijemput petugas kesehatan dan dibawa ke sebuah klinik. Di sanalah Djuhdi mendapatkan perawatan dan diinfus lantaran dinilai kekurangan cairan. 

Selain Sri dan Djuhdi, ada enam jamaah haji asal Jawa Barat yang mendapatkan perawatan di klinik tersebut. “Tapi malam hari mereka dijemput teman-temannya setelah berkomunikasi lewat telepon,” kata Sri. 

Sri dan Djuhdi yang sudah mengganti nomor telepon tidak bisa dihubungi dan berkomunikasi dengan orang luar. Djuhdi yang pensiunan Kementerian Pekerjaan Umum lupa mengisi pulsa. 

Merasa tidak bisa berbuat banyak, Djuhdi mengajak Sri meninggalkan klinik dan melepas jarum infus dari tanganya. Tujuan mereka adalah lokasi jamarat. “Saya yakin nanti bertemu dengan orang Indonesia di jamarat. Kami berdua pergi dari klinik sekitar pukul 01.00,” ujar Djuhdi. 

Sekitar pukul 03.00, Republika pun menjumpai keduanya sedang kelelahan di dekat jumrah aqabah. Sri dan Djuhdi pun akhirnya sampai ke Kantor Urusan Haji. (Republika/Foto: barbadostoday.bb)

Tidak ada komentar: