Kamis, 05 Juni 2008

Perluasan Masjidil Haram Tak Pengaruhi Keabsahan Haji

Perluasan Masjidil Haram, Mekah, yang tengah berlangsung dewasa ini, menjadi perhatian serius para ulama di tanah air, utamanya menyangkut pada keabsahan ibadah haji sebagai akibat adanya pergeseran tempat sai -- termasuk pula perluasan tempat mabit di Mina (belakangan disebut Mina Jadid) -- yang dilakukan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

Meski para ulama setempat telah mengeluarkan fatwa bahwa hal itu sudah dianggap sah, namun para ulama di tanah air merasa perlu berkumpul dan bermusyawarah karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak pernah mengeluarkan fatwa terkait dengan Mina Jadid dan kemudian menyusul adanya pergeseran tempat Sai di Masjidil Haram.

Apakah sah atau tidak melaksanakan ritual atau rangkaian proses rukun-rukun ibadah haji yang tempatnya mengalami perubahan -- atau tidak sebagaimana dilaksanakan Rasullah Nabi Muhammad SAW -- sesuai petunjuk manasik haji yang berlaku selama ini?

Pertanyaan semacam ini menguat pada musim haji lalu. Terutama bagi jemaah haji yang melakukan mabit (bermalam) di Mina Jadid, yang saat itu kawasannya sudah diperluas hingga Musdalifah, sehingga para petugas Kelompok Bimbingan Ibadah Haji (KBIH) kewalahan memberi penjelasan kepada jemaahnya.

Masalah mabit di Mina Jadid, -- disamping belum adanya fatwa dari MUI, -- belakangan ini muncul soal pergeseran tempat sai di kawasan masjidil Haram.

Berdasarkan pemahaman hukum fikih, apabila seseorang tidak dapat melaksanakan salah satu rukun haji, secara keseluruhan ibadah hajinya batal alias tidak sah. Pemindahan tempat sai yang dalam teks Alquran disebutkan dengan jelas bahwa tempat sai di antara Bukit Shafa dan Marwah, menurut para ulama, jelas akan memunculkan keresahan umat Islam.

Terhadap permasalahan tersebut, para ulama dan juga ormas keagamaan Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan lainnya, sebetulnya memang harus segera merumuskan kebijakan dan sikap yang pasti.

Saat ini tengah berlangsung pembongkaran gedung-gedung di Mekah setiap hari akibat perluasan pelataran sebelah utara Masjidil Haram. Hotel ternama seperti Hotel Sheraton dan Hotel Sofitel turut digusur.

Hotel Sheraton yang berbintang lima terletak di Gazzah dekat Masjid Kucing dan Hotel Sofitel di Gararah. Diperkirakan masih banyak hotel ternama lainnya akan bernasib sama.

Hotel Sheraton Mekah, dekat Maulid Nabi Babus Salam ikut dibongkar. Hotel Sofitel yang berdiri dipinggiran Bab Umrah diruntuhkan, kata Habibun Said, pemukim di Mekah.

Hotel Sheraton Makkah punya sekitar 433 kamar dan Hotel Sofitel Makkah 432 kamar berbintang tiga dengan tarif sewa per malam mulai 188 dolar Amerika dan sejumlah gedung yang disampingnya sudah rata dengan tanah.

Pembongkaran sejumlah hotel ini akan berdampak pada tempat penampungan bagi jemaah haji Indonesia dan sejumlah negara lain. Menurut Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, kemungkinan besar jemaah Indonesia sebagian akan mendapat pemondokan jauh dari masjidil Haram karena tempatnya banyak yang dibongkar.

Hingga kini, pemerintah Indonesia baru menyelesaikan 40 persen tempat pemondokan untuk musim haji mendatang, kata Maftuh.

Proyek perluasan pelataran sebelah utara Masjidil Haram seluas 300 ribu meter persegi menggusur sekitar seribu gedung dan hotel yang terletak di wilayah Gazzah, Raqubah (Pasar Seng), Gararah, Falaq Syamia dan Jabal Hindi.

Perluasan Masjidil Haram Makkah kali ini terbesar sepanjang sejarah di kota Makkah dan Madinah. Proyek menelan biaya 6 miliar Riyal Saudi dengan kontraktor termasyhur, Bin Laden.
Adanya pembongkaran tersebut tentu membawa konsekuensi perubahan tempat pelaksanaan rangkaian ritual haji. Terutama tempat sai di Masjidil Haram.

Para ulama se-Jawa yang bermusyawarah pada medio April lalu, mengeluarkan tiga keputusan terkait pelaksanaan ibadah haji. Pertama, mereka minta Departemen Agama meninjau ulang jadwal ibadah haji. Kedua, meminta pemerintah bernegosiasi dengan Arab Saudi kemudahan haji. Ketiga, memintah pemerintah memastikan lokasi ibadah haji.

Musyawarah ulama se-Jawa mendesak pemerintah segera meminta penjelasan dari pemerintah Arab Saudi terkait perkembangan bangunan Masjidil Haram. Terutama menyangkut perluasan lokasi pelaksanaan rukun haji sa`i.

"Kaitannya dengan perluasan pembangunan mas`a," kata pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin, K.H. Mustofa Bisri.

Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma’ruf Amin mengakui hingga kini belum mengeluarkan fatwa mengenai rencana perpindahan sejumlah situs tempat pelaksanaan rukun dan wajib haji.

MUI belum menerima informasi dan laporan dari Departemen Agama mengenai rencana pemerintah Arab Saudi yang juga akan memperluas Shofa dan Marwa.

“Kami belum menerima informasi perluasan dan perubahan seperti apa yang akan dilakukan. Sampai saat ini kami belum menerima laporan dari Depag,” papar Kiai Ma’ruf.

Menurut dia, MUI akan membahas masalah itu melalui Komisi Fatwa setelah Depag memberi laporan dan meminta MUI untuk membuat fatwa. “Untuk memutuskan masalah seperti ini, MUI akan membahasnya melalui forum komunikasi fatwa.”

Menurut Kiai Ma’ruf, MUI juga perlu melihat langsung rencana perubahan itu ke Tanah Suci Makkah. Hal itu diperlukan agar perubahan yang direncanakan Pemerintah Arab Saudi itu bisa dilihat secara langsung. Setelah itu, pengurus harian dan komisi fatwa MUI akan membahas dan mengkajinya untuk melahirkan fatwa.

Sudah terjawab

Sesungguhnya perluasan tempat sa'i (Mas'a) di Masjidil Haram, Mekah, yang dipertanyakan sejumlah ulama di tanah air sudah terjawab.

Informasi dari harian Okaz di Arab Saudi, terbitan 22 April 2008, menjelaskan bahwa perluasan tersebut merupakan pekerjaan yang benar dan dapat memberikan berkah kepada umat Muslim.

Empat ulama besar Arab memberikan fatwa atas kebenaran perluasan Mas'a di Masjidil Haram, Mekah, dan dapat dicatat dalam sejarah serta memiliki nilai berkah bagi umat Muslim yang bertujuan untuk memberikan kenyamanan dan kemudahan jamaah haji dan umrah dalam melaksanakan ibadah sa'i.

Keempat mufti yang memberikan pernyataan adalah Mufti Mesir Dr Ali Jum'ah, dua orang dari mufti Libanon yaitu Dr Muhammad Rasyid Qabbani dan Dr Muhammad Ali Al Juzu, dan mufti yang keempat adalah Dr Akrama Shabri dari Palestina. "Perluasan Mas'a merupakan tuntutan syar'i," kata Dr Akrama Shabri.

Para ulama membolehkan perluasan Mas'a karena tidak ada pergeseran dari tempat aslinya, hanya pelebaran bangunan yang diprakarsai oleh Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz sebagai proyek Islami terbesar dan patut dicatat dalam sejarah."

Pernyataan Dr Muhammad Rasyid Qabbani, "Perluasan Mas'a tidak keluar dari batas syar'i pelaksanaan ibadah sa'i. Perluasan baru tersebut demi kenyamanan jamaah dan sudah waktunya dilakukan perluasan agar dapat menampung jamaah dalam jumlah lebih banyak, ini pun merupakan salah satu program Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang telah disepakati secara hukum syar'i untuk memberikan pelayanan terhadap dhuyufurahman."

Mufti Lebanon, Dr Muhammad Ali Al Juzu menegaskan, "Perluasan Mas'a memberi pengaruh positif terhadap kenyamanan jamaah haji dan umrah. Proyek ini adalah pekerjaan mulia Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz untuk memberikan pelayanan terhadap umat Muslim dan merupakan pekerjaan Islami yang sesuai hukum syariat Islam dan demi kemaslahatan ummat."

Mufti Mesir Dr Ali Jum'ah menyatakan, "Semua dalil syar'i membenarkan perluasan Mas'a. Para ulama Islam telah sepakat terhadap perluasan tersebut dan tidak bertentangan dengan agama. Khadimul Haramain Raja Abdullah bin Abdul Aziz melakukan perluasan Mas'a adalah pekerjaan sesuai hukum syar'i yang benar dan merupakan pekerjaan yang berkah bertujuan memberikan pelayanan kepada umat Muslim."

Syaikh Yusuf Al-Qardhawi, ulama besar Mesir, juga tidak mempermasalahkan perluasan Mas'a dan pemindahan Maqam Ibrahim dari tempat asalnya. Menurut Al-Qardhawi, yang pernah dikutip harian Asharqul Awsath, Rasulullah selalu memberi kemudahan untuk haji dengan sabdanya yang terkenal pada saat haji wada': "If'al wala kharaj (lakukan dan tak ada masalah).

Sesuai fakta Mas'a tetap berada pada tempatnya semula yaitu antara Safa dan Marwa dan tidak benar kalau lokasi bergeser ke lokasi yang lain yang disebut antara Gararah dan Jabal Qubais. Garis start dan finish-nya tetap di bukit Safa dan bukit Marwa.

Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya pernyataan resmi dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi atau pihak yang bertanggung jawab di Masjidil Haram ataupun dari pihak lain tentang bagaimana hukumnya perluasan Mas'a itu.

Penegasan Konsul Haji

Konsul Haji Indonesia Dr M Nur Samad Kamba MA pada pekan lalu telah mengemukakan bahwa, "Perluasan Mas'a tidak dilakukan semena-mena oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, selain tanpa harus mendengar para ulamanya dan juga sejumlah ulama lainnya. Dan tidak benar jika dikatakan bahwa mas'a beralih atau bergeser dari Gararah sampai Jabal Qubais."

Nur Samad yang juga Kepala Teknis Urusan Haji Departemen Agama, mengatakan, yang dilakukan pemerintah Saudi adalah perluasan. Bukan pemindahan. Termasuk di dalamnya perluasan tempat sai sebagai bagian dari perluasan area Masjidil Haram, perluasan tempat melontar dan Mina.

''Tempat sai yang lama dari Shafa ke Marwah sekarang tidak bisa dipakai karena sedang diperbaiki. Yang digunakan saat ini adalah perluasan temat sai yang lokasinya paralel atau sejajar di sisi kanan dari tempat sai yang sekarang.

'Tak bisa disebut pindah ke dari Shafa-Marwa ke Qubais dan Qararah,' katanya. Menurutnya, Qubais berada di belakang bukit Shafa dan Qararah di belang Marwah.

Sama halnya dengan tempat melontar jumrah. Dulu titik lontar jumrah itu kecil. Kemudian diperluas menjadi lingkarann. Sekarang diperlebar menjadi seperti tembok dengan panjang lonjong dengan diameter bisa mencapai 20 meter. ''Apa ini disebut pemindahan,'' kata dia.

Perbaikan belum selesai. Jadi, belum bisa dilihat hasilnya. ''Seharusnya ulama Indonesia mengajukan secara resmi untuk meminta keterangan dari pemerintah Saudi supaya jelas. Kalau perlu datang ke sini.

"Jangan karena laporan satu dua orang kemudian membuat ijmak ulama. Bisa memalukan kita.'' Nursamad mengatakan perluasan situs haji di Saudi juga sudah dengan fatwa ulama setempat. (Edy Supriatna Sjafei)

Tidak ada komentar: