Ketika shalat Jumat di mesjid kampung, saya melihat sendiri seorang khatib yang akan naik mimbar berbisik kepada pengurus masjid, “tolong nanti jangan sebut saya pegawai Departemen Agama,” katanya perlahan.
Cerita lain datang dari seorang pegawai Depag yang tinggal di Bogor, ia tak berani shalat berjemaah di musholla dekat rumahnya, karena sejak heboh korupsi haji, hampir setiap selesai shalat, dia selalui ditanya jemaah lainnya soal korupsi yang terjadi di instansinya.
Seorang ibu yang suaminya pegawai Depag bercerita, akhir-akhir ini, anaknya lelaki yang kelas 5 SD sering berkelahi dengan teman-teman sekelasnya, karena dia suka diejek oleh teman-temannya kalau ayahnya disebut-sebut tukang korupsi.
Komentar datang juga dari pensiunan pejabat Depag yang kini dosen di salah satu PT Swasta di Jakarta, heboh korupsi dana haji ini berdampak luas bagi jajaran Dep.Agama yang tersebar di seluruh Indonesia. “Penyuluh-penyuluh agama kita pasti kecipratan pula aib itu, belum lagi keluarganya bakal mananggung beban psikologis yang berat, padahal sangat pasti mereka tak tau ujung pangkal korupsi itu,” ucapnya.
Ketika teman lama saya pengasuh sebuah pondok pesantren di Jawa Timur menelpon, berceritalah dia tentang banyak hal, dari kinerja presiden SBY, kelangkaan BBM, soal flu burung yang mewabah dan korupsi haji. Tapi ucapan yang menggugah justru pada perkataan akhir kiai muda itu, “musim haji’kan musim korupsi bagi pejabat depag,” ucapnya enteng sambil tertawa.
Tekanan psikologis semakin berat menerpa jajaran Depag dan keluarganya. Hantaman pemberitaan media massa soal kasus haji memang sangat luar biasa. Aspek ekonomis industri pers pun bicara, persaingan menjual informasi, menyeret pengelola media massa mengabaikan kearifan dalam penyajiannya.
Sindiran, kecaman dan hujatan pun berdatangan dari berbagai pihak, pengamat, pakar, LSM, akademisi, politisi ramai-ramai menyampaikan analisa, usulan, gagasan dan kajian tentang kasus korupsi dana haji ini, bahkan sampai membuat mereka sering lupa, proses hukum kasus ini masih berjalan dan baru pada tahap penetapan tersangka.
Departemen Agama sama dengan departemen lain, termasuk pegawainya juga bukan orang-orang suci yang bisa lepas dari godaan duniawi. Depag bukan lembaga keagamaan dan bukan pula lembaga sakral, jadi pedoman yang dipakai untuk menilai Depag mestinya sama dengan yang dipakai untuk menilai lembaga lain, yaitu good governance yang menuntut persyaratan transparansi, akuntabilitas, fairness, dan maritokrasi.
Niat Bersih
Menteri Agama Maftuh Basyuni mengatakan, Departemen Agama merupakan departemen pertama yang berani membuka aibnya sendiri.Membuka aib sendiri lebih terhormat dari pada keduluan diketahui orang lain.
Menag sendiri belum yakin dengan penilaian masyarakat bahwa Depag merupakan departemen yang paling korup, karena kenyataannya anggaran yang diberikan kepada Depag paling kecil dibandingkan departemen lainnya.
Sementara mantan Menag Tarmizi Taher berharap pemerintah tidak diskriminatif dalam melakukan penyelidikan, agar tidak Depag saja yang terkena penyelidikan. Penyimpangan yang terjadi di Depag, saya kira masih jauh lebih kecil dibanding penyimpangan korupsi di departemen lain.
Tarmizi meminta, pejabat dan staf di Depag sekarang mesti sabar dan mau membenahi diri, untuk perbaikan karena saat ini sorotan sebagai departemen yang korup cukup melekat. Jadi, mari kita perbaiki bersama demi kebaikan. Hal senada juga diampaikan Ketua MPR-RI Hidayat Nur Wahid, yang meminta rekan-rekan di Deperteman Agama kooperatif, terbuka dan menunjukkan yang sebenarnya apa yang terjadi dan siapa berada di balik semua masalah ini. Tidak boleh ditutup-tutupi dan jangan sampai mereka hanya menjadi bamper dan buka saja secara profesional mana yang korupsi dan mana yang tidak, jadi mari kita selesaikan secara terbuka dan biarkan pengadilan yang akan memutuskannya.
Presiden SBY ketika membuka Muktamar Muhammadiyah menegaskan, dengan moralitas yang baik dan benar maka perilaku umat manusia dapat diperbaiki. Berbagai tindak kejahatan termasuk korupsi yang telah menghancurkan keuangan negara harus disadarkan bahwa hal itu merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai agama. Alangkah malunya bila Indonesia sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam dan merupakan negara muslim terbesar di dunia tetapi angka korupsinya juga tertinggi di dunia.
Memberantas koorupsi di lingkungan birokrasi harus diawali dengan niat bersih, kemauan politik, penataan manajemen dan pengawasan yang efektip. Lebih dari itu, keteladanan dan kearifan pimpinan Dep.Agama pun memegang peranan penting dalam pencegahan KKN di lingkungannya.
Dana Terhimpun
Saat ini Departemen Agama sedang mempersiapkan penyelenggaraan haji 2006. Calon haji memasuki tahap pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) melalui bank-bank penerima setoran. Sementara dari data yang masuk ke Siskohat, calhaj yang telah menyetor tabungan sebesar Rp 20 juta untuk mendapat porsi haji telah mencapai 276.045 orang, sementara kuota haji 2006 hanya 205 ribu orang, terdiri 189 ribu jemaah biasa dan 16 ribu jemaah haji khusus.
Membludaknya minat umat Islam menunaikan ibadah haji tahun ini, merupakan indikator terbalik yang sulit dipahami. Di satu sisi penyelenggaraan haji oleh Depag sedang diterpa dugaan korupsi. Sementara di sisi lain, masyarakat masih mau dan percaya pergi haji melalui pengelolaan Depag. Sampai saat ini, kata sumber Depag, belum ada satupun calon jemaah haji yang mengundurkan diri akibat citra buruk pelayanan haji tersebut.
Memberantas koorupsi di lingkungan birokrasi harus diawali dengan niat bersih, kemauan politik, penataan manajemen dan pengawasan yang efektip. Lebih dari itu, keteladanan dan kearifan pimpinan Dep.Agama pun memegang peranan penting dalam pencegahan KKN di lingkungannya.
Dana Terhimpun
Saat ini Departemen Agama sedang mempersiapkan penyelenggaraan haji 2006. Calon haji memasuki tahap pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) melalui bank-bank penerima setoran. Sementara dari data yang masuk ke Siskohat, calhaj yang telah menyetor tabungan sebesar Rp 20 juta untuk mendapat porsi haji telah mencapai 276.045 orang, sementara kuota haji 2006 hanya 205 ribu orang, terdiri 189 ribu jemaah biasa dan 16 ribu jemaah haji khusus.
Membludaknya minat umat Islam menunaikan ibadah haji tahun ini, merupakan indikator terbalik yang sulit dipahami. Di satu sisi penyelenggaraan haji oleh Depag sedang diterpa dugaan korupsi. Sementara di sisi lain, masyarakat masih mau dan percaya pergi haji melalui pengelolaan Depag. Sampai saat ini, kata sumber Depag, belum ada satupun calon jemaah haji yang mengundurkan diri akibat citra buruk pelayanan haji tersebut.
Kalau kita mau menghitung-hitung dana yang tersimpan di sejumlah rekening Dep.Agama, dana yang diperoleh dari hasil efisiensi haji selama ini nilainya cukup besar. Dana Abadi Umat per 29 April 2005 terdiri dari rupiah Rp 401.535.892.815,95 dan dalam Dollar AS 15.047.945,17 dengan asumsi nilai tukar per dollar AS ke rupiah Rp 9.500, maka saldo DAU Rp 544,4 milyar. Sedangkan Dana Abadi Haji (DAH), Dana Kesejahteraan Karyawan (DKK) dan Dana Korpri (DK) jumlah mencapai Rp 684 milyar. Seluruh dana kas Depag yang masih tersimpan di bank-bank mencapai Rp 1,22 triliun.
Jika diperhitungkan dengan DAU yang telah disalurkan untuk memberikan bantuan selama ini telah mencapai mencapai Rp 493, 73 milyar, dengan rincian : bidang pendidikan dan dakwah Islamiyah Rp 41.000.826.471,13,- bidang social keagamaan dan kemasyarakatan Rp 114.492.669.831,60,- bidang ekonomi umat dan kesehatan Rp 11.539.927.099,00,- bidang pembangunan sarana ibadah dan keagamaan Rp 148.444.809.601,27,- dan bidang penyelenggaraan haji Rp 178.254.200.858,48,-
Dana kas yang tersimpan Rp 1,22 triliun ditambah dengan DAU yang telah disalurkan Rp 493,73 miliar, seluruh dana yang dikelola Depag dari efisiensi haji mencapai Rp 1,71 triliun. Kalau dihitung dengan logika sederhana, selama 30 tahun terakhir, setiap tahunnya depag menghimpun saldo Rp 56,6 milyar dari efisiensi haji termasuk jasa bank, walau hitung-hitungnya tak selalu demikian. Bahkan bisa saja dana tersebut dihimpun baru dari tahun 1996 ketika Keppres tentang Badan Pengelola Dana Ongkos Naik Haji Indonesia (BPD-ONHI) mulai dikeluarkan oleh Presiden Soeharto.
Kalaupun kita mau menghitung dana kas yang masih tersimpan di rekening Depag saat ini senilai Rp 1,2 trilun, maka jumlah ini pun jika dibagi dengan 30 kali penyelenggaraan haji, rata-rata pertahun penyelenggaraan haji menyisakan dana Rp 40 miliar termasuk jasa bank dari pengelolaan dana yang ada. Kebenaran Reka-reka hitungan ini, termasuk jumlah dana tunai yang dimiliki Depag, sepenuhnya hanya pengelola dan Timtas Tipikorlah yang paling tau.
Pengembangan penyidikan kasus ini oleh Timtas Tipikor masih terus berlanjut. Temuan awal yang berindikasikan korupsi sudah disampaikan ke publik, seperti manipulasi, pengeluaran fiktip, kemahalan (mark up), pengeluaran ganda, penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) pejabat, penggelapan pajak dan deviden penyertan saham yang tidak dibukukan, dsb. Proses pengadilanlah yang bakal menentukan siapa yang bersalah. Namun hikmah awal yang dapat dipetik dari kasus ini, kita menjadi tau kalau Departemen Agama memiliki potensi dana non buggeter yang sangat besar, sekitar Rp 1,2 triliun dari efisiensi penyelenggaran haji yang tersimpan di berbagai rekening Dep.Agama dengan aman walau katanya diblokir Timtas Tipikor.
Kalau sebuah pekerjaan menyisakan sisi buruk, maka lihatlah sisi baik yang dapat dipetik manfaatnya. Seperti yang diungkap hadist Nabi Muhammad SAW, “semua manusia, semua bani Adam adalah salah dan sebaik-baik orang bersalah, merekalah orang yang mau bertobat". Mudah-mudahan, ucapan sang kiai muda teman saya yang mengatakan, “musim haji musim korupsi,” tak pernah akan terdengar lagi atau menjadi “musim haji bukan lagi musim korupsi”. Wallahu a’lam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar