Seiring meningkatnya tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan serta "kesalehan beragama" umat Islam di
Indonesia, meningkat pula gairah dan jumlah peserta pendaftar haji setiap
tahunnya.
Membengkaknya jumlah pendaftar haji,
menyebabkan semakin panjangnya antrean untuk mendapatkan kesempatan berangkat
haji ke Tanah Suci Mekah. Bahkan di sejumlah kota besar, antrean itu bisa
mencapai 10 hingga 30 tahun.
Meskipun mereka sudah lunas membayar
seluruh biaya naik haji, tidak secara otomatis mereka bisa berangkat
secepatnya. Karena adanya keterbatasan kuota jemaah haji di setiap negara.
Mulai 2017 ini, kuota haji Indonesia
bertambah dari 168.000 menjadi 221.000 jamaah. Peningkatan jumlah kuota itu
didapat setelah Kerajaan Arab Saudi mengembalikan "kuota normal"
Indonesia sebelum 2013 sebesar 211.000 dan menambah 10.000 sesuai permintaan
Pemerintah Indonesia.
Bisa dibayangkan jatah kuota 221.000
jelas jauh dari cukup untuk ukuran Indonesia yang pada 2016 berpenduduk lebih
dari 257 juta jiwa. Apalagi karakter masyarakat Muslim Indonesia, sejak zaman
dahulu kala (hingga kini), tergolong masyarakat yang "gemar berhaji".
Pada zaman Belanda dulu, pemerintah kolonial sempat dibuat kerepotan karena besarnya minat umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sementara ibadah satu ini, oleh Belanda, dipandang membahayakan keamanan dan otoritas politik karena berpotensi bisa mengimpor ideologi Pan-Islam yang anti-kolonialisme (lihat artikel Anthony Reid dalam Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia).
Pada zaman Belanda dulu, pemerintah kolonial sempat dibuat kerepotan karena besarnya minat umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah, sementara ibadah satu ini, oleh Belanda, dipandang membahayakan keamanan dan otoritas politik karena berpotensi bisa mengimpor ideologi Pan-Islam yang anti-kolonialisme (lihat artikel Anthony Reid dalam Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia).
Oleh Pemerintah Belanda,
"Haji" (selain ulama) adalah aktor yang dianggap berbahaya, karena
bisa mempengaruhi masyarakat untuk melawan dan memberontak terhadap mereka
(simak sejumlah karya almarhum sejarawan Sartono Kartodirdjo seperti Protest
Movements in Rural Java dan Peasants Revolt in Banten in 1888).
Meskipun dipersulit perizinan haji
oleh Belanda dan ditambah perjalanan ke Mekah yang mahaberat, membutuhkan waktu
sekitar 6 bulan perjalanan lewat laut dengan kapal layar, dan berisiko kematian
karena serangan penyakit kolera, kelaparan, atau dibegal di jalan oleh kaum
perompak dan perampok, antusiasme umat Islam Nusantara untuk berhaji tak surut.
Pada akhir abad ke-19, bahkan konon
jumlah jemaah haji dari Nusantara sempat memecahkan rekor yang terbanyak di
Mekah.
Jika dulu yang sangat sulit saja, kaum Muslim begitu semangat berhaji, apalagi sekarang ketika semua serba mudah dan cepat. Perjalanan ke Mekah kini cuma ditempuh sekitar 9 jam menggunakan pesawat terbang yang nyaman, tidak perlu berbulan-bulan dan terapung-apung di laut dan samudera.
Jika dulu yang sangat sulit saja, kaum Muslim begitu semangat berhaji, apalagi sekarang ketika semua serba mudah dan cepat. Perjalanan ke Mekah kini cuma ditempuh sekitar 9 jam menggunakan pesawat terbang yang nyaman, tidak perlu berbulan-bulan dan terapung-apung di laut dan samudera.
***
Tetapi apa boleh buat, meskipun
minat umat Islam untuk berhaji begitu besar dan membara, haji harus dibatasi.
Karena area Mekah, khususnya kawasan untuk berhaji juga terbatas.
Jika setiap negara tidak dibatasi
jumlah pendaftar haji, maka Mekah tidak bisa menampung jemaah haji. Jika
dipaksakan, justru bisa berdampak negatif bagi keselamatan umat Islam. Maka,
sistem kuota sudah merupakan jalan terbaik untuk mengatur masalah haji supaya
lebih tertib dan nyaman.
Sekarang tinggal bagaimana setiap
negara mengelola mekanisme haji ini dengan baik dan bijak agar semua (atau
minimal sebagian besar umat Islam) bisa berkesempatan menunaikan ibadah haji.
Salah satu cara terbaik adalah
dengan membatasi haji. Misalnya dengan melarang orang yang sudah berhaji untuk
menunaikan haji lagi atau minimal menunda sekian tahun ke depan.
Di Arab Saudi misalnya, pemerintah
membuat peraturan warga yang sudah berhaji tidak boleh berhaji lagi selama 5
tahun ke depan (kecuali jika mereka mendampingi istri atau anak perempuan yang
merupakan muhrim).
Identitas penduduk orang yang sudah
berhaji akan terdeteksi di sistem. Misalnya, saya tidak bisa mendaftar haji
lagi (yang dilakukan secara online) dalam lima tahun karena kartu identitas
saya sudah terdeteksi pernah berhaji dua tahun lalu. Pemerintah Malaysia konon
juga melarang umat Islam untuk bolak-balik berhaji.
Semua itu dilakukan untuk memberi
kesempatan kepada mereka yang belum berhaji. Panjangnya daftar antrean dan
lamanya daftar tunggu jemaah calon haji di Indonesia itu, lantaran banyak orang
yang sudah berhaji kemudian ikut mendaftar haji lagi untuk kesekian kalinya.
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini,
Kementerian Agama, memang pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) No.
29 Tahun 2015, yang merupakan revisi atas Peraturan Menteri Agama No. 14 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler.
Dalam PMA Pasal 3 ayat 4 disebutkan,
jemaah haji yang pernah menunaikan ibadah haji dapat melakukan pendaftaran haji
setelah 10 tahun sejak menunaikan ibadah haji terakhir. Ketentuan ini tidak
berlaku untuk jemaah haji yang merangkap sebagai pembimbing haji.
Tapi sayang, peraturan ini masih
belum maksimal dijalankan atau bahkan realitasnya tidak bunyi sama sekali di
lapangan. Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Agama) perlu tegas mengatur dan
mengimplementasikan soal pembatasan haji untuk memberi peluang atau
memprioritaskan kepada mereka yang belum pernah menunaikan ibadah haji.
Kasihan mereka yang sudah menunggu
puluhan tahun untuk berhaji, terganjal dan tertunda terus hanya karena
banyaknya umat Islam yang sudah berhaji ikut mengantre lagi.
Lagi pula, untuk apa haji
berkali-kali? Nabi Muhammad SAW sendiri hanya menunaikan ibadah haji sekali
dalam hidupnya, yaitu pada tahun 10 H. Tiga bulan kemudian beliau wafat
sehingga haji beliau disebut haji wida atau haji perpisahan.
Jika haji adalah ibadah yang sangat
fundamental dalam Islam, beliau tentu tidak menunaikannya sekali saja.
Kenyataannya tidak demikian. Itu artinya ibadah haji, bagi beliau, bukan ibadah
yang "penting-penting amat". Haji memang diwajibkan hanya bagi umat
Islam yang sudah mampu (secara fisik dan finansial). Itupun sekali seumur
hidup.
Menurut almarhum Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub, yang juga mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, ibadah haji (juga umrAh) tergolong ibadah qashiroh atau ibadah individual, dengan manfaatnya hanya dirasakan oleh individu atau pelaku yang bersangkutan.
Menurut almarhum Prof Dr KH Ali Mustafa Yakub, yang juga mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, ibadah haji (juga umrAh) tergolong ibadah qashiroh atau ibadah individual, dengan manfaatnya hanya dirasakan oleh individu atau pelaku yang bersangkutan.
Sementara Islam, menurut beliau,
lebih menekankan pada ibadah muta'addiyah" atau "ibadah sosial",
yaitu ibadah di mana manfaatnya bisa dinikmati oleh dirinya dan orang lain.
Contoh jenis perbuatan yang masuk
kategori ibadah muta'addiyah adalah menyantuni fakir-miskin, menyayangi anak
yatim, pengentasan kemiskinan, pemberian beasiswa pendidikan, pemeliharaan
alam-lingkungan, dan sebagainya.
Islam memang agama antroprosentris, dengan manusia yang menjadi pusat perhatian utama. Karena itu ayat-ayat Alquran, Hadis, dan tauladan Nabi Muhammad didominasi atau bertaburan dengan hal ihwal yang berkaitan dengan masalah sosial kemanusiaan dan kemasyarakatan, bukan ritual-ritual individual seperti haji. Wallahu'alam.(liputan6.com)
Islam memang agama antroprosentris, dengan manusia yang menjadi pusat perhatian utama. Karena itu ayat-ayat Alquran, Hadis, dan tauladan Nabi Muhammad didominasi atau bertaburan dengan hal ihwal yang berkaitan dengan masalah sosial kemanusiaan dan kemasyarakatan, bukan ritual-ritual individual seperti haji. Wallahu'alam.(liputan6.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar