Jumat, 27 April 2007

Soal Dana Abadi Umat


Dana Abadi Umat (DAU) bagi Departemen Agama dan umat Islam merupakan sumber dana potensial ibarat "pundi" untuk pembiayaan kegiatan sosial keagamaan yang sangat luas cakupannya dan tidak dapat di-cover oleh APBN. Sulit dibayangkan jika sebuah Departemen Agama dengan aktivitas yang sangat luas, selain penyelenggaraan ibadah haji tak memiliki sumber dana lain di luar APBN. Karena selama ini untuk persiapan haji, DAU kerap digunakan sebagai dana talangan atau uang muka untuk sejumlah kegiatan sambil menunggu pembiayaan langsung yang diambil dari setoran BPIH jemaah haji.


DAU bersumber dari hasil efisiensi pengelolaan BPIH/ONH yang dihimpun dari tahun ke tahun oleh Departemen Agama dan dikelola oleh sebuah badan yang ditetapkan berdasarkan keppres. Dana tersebut disimpan dalam rekening Menteri Agama pada sejumlah bank pemerintah. Sedangkan dana yang dipergunakan untuk kemaslahatan umat merupakan hasil bunga jasa bank dari dana tersebut. Melihat sejarah sumber penerimaan DAU, dana ini memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan jenis-jenis dana lainnya. Sehingga dana ini tidak bisa digolongkan ke dalam jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun dana non-budgeter.


Gagasan melahirkan DAU semula dilontarkan oleh anggota DPR-RI pada saat rapat pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Penyelenggaraan Haji tahun 1999. Pencetusan DAU merupakan tindak lanjut upaya pemerintah dan wakil rakyat di DPR untuk melakukan pembenahan pengelolaan aset umat yang diperoleh melalui efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH/ONH) yang dikelola oleh sebuah badan melalui keputusan presiden. Legalitas awal DAU sendiri terdapat dalam Undang-undang No. 17 Tahun 1999, Pasal 1 butir 16 menyebutkan, "Dana abadi umat adalah sejumlah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji dan dari sumber lainnya."


Badan Pengelola DAU (BP DAU) sendiri ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 2001, yang menyebutkan BP DAU terdiri dari Ketua Badan Pengelola dijabat Menteri Agama, Dewan Pengawas dengan Ketua Sekjen Departemen Agama, Sekretaris Irjen Departemen Agama, dengan anggota Kepala Biro Keuangan, Ketua Umum MUI, Ketua Umum PB NU, Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI). Sedangkan Dewan Pelaksana dengan ketua dijabat oleh Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji dengan sekretaris jenderal.


Sebelumnya, pada era Orde Baru, saat Menag dijabat Tarmizi Taher dibentuk Badan Pengelola Dana Ongkos Naik Haji Indonesia (BPDONHI). Gagasan tersebut disetujui Presiden Soeharto dengan diterbitkannya Keppres No. 35 Tahun 1996 tentang BPDONHI kemudian ditindaklanjuti dengan Keppres No. 52 Tahun 1996. Mulai saat itulah hasil efisiensi penyelenggaraan dihimpun dan dikelola oleh sebuah badan yang dipimpin oleh Menteri Agama. Lahirnya UU No. 17 tahun 1999 dan Kepres No. 22 Tahun 2001, BPDONHI berubah menjadi BPDAU.


Pada tahun 2000 DAU dalam rupiah berjumlah Rp 332.360.000.000,- dan dalam dolar AS, $AS 15.000.000. Tahun 2003, DAU berjumlah Rp 367.256.500.000 dan dalam dolar Amerika $AS 15.000.000. Sedangkan saldo DAU per 29 April 2005 terdiri dari rupiah Rp 401.535.892.815,95 (empat ratus satu miliar lima ratus tiga puluh lima juta delapan ratus sembilan puluh dua ribu delapan ratus lima belas rupiah sembilan puluh lima sen) dan dalam dolar AS, AS$ 15.047.945,17 (lima belas juta empat puluh tujuh ribu sembilan ratus empat puluh lima dolar tujuh belas sen).


Dengan nilai tukar dolar AS ke rupiah Rp 9.000 maka saldo DAU seluruhnya berjumlah Rp 536.967.399.345,95. (lima ratus tiga puluh enam miliar sembilan ratus enam puluh tujuh juta tiga ratus sembilan puluh sembilan ribu tiga ratus empat puluh lima rupiah, sembilan puluh lima sen). Selain itu, terdapat juga penyertaan saham DAU di Bank Muammalat sebesar Rp 19 miliar.


Dalam UU No. 19 Tahun 1999 maupun Keppres No. 22 Tahun 2001 sangat jelas disebut bahwa DAU dapat dipergunakan untuk kemaslahatan umat di bidang pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial, ekonomi, pembangunan sarana dan prasarana ibadah, dan penyelenggaraan ibadah haji.


Rincian kebijakan teknis penggunaan DAU tertuang dalam Keputusan Menteri Agama No. 384 jo 484 Tahun 2001 dan Keputusan Menag No. 274 Tahun 2002 memersentasekan penggunaan DAU sebagai berikut: bidang pendidikan dan dakwah 11%, bidang kesehatan 1%, bidang sosial/keagamaan 15%, bidang ekonomi umat 3%, bidang pembangunan sarana/prasarana ibadah 30%, bidang penyelenggaraan haji 30% dan biaya pengelolaan, pajak, administrasi dan lain-lain yang mendesak 10%.


Memperhatikan Keputusan Menteri Agama soal pengelolaan dan penggunaan DAU yang diterbitkan setelah dikeluarkannya UU No. 17 Tahun 1999 dan Keppres No. 22 Tahun 2001, terlihat keputusan Menag itu tidak sesuai dengan produk hukum di atasnya yang lebih kuat.


Telah terjadi kesalahan pertimbangan hukum, menyebabkan Menag mempunyai otoritas pula mengalokasikan hasil efisiensi penyelenggaraan haji yang seharusnya masuk ke DAU kepada kegiatan-kegiatan lain yang tidak sesuai dengan UU No. 17 Tahun 1999 dan Keppres No. 22 Tahun 2001.

Tidak ada komentar: